3 Okt 2025 - 118 View
Agam – RedaksiDaerah.com — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejatinya ditujukan untuk meningkatkan gizi anak sekolah justru menimbulkan masalah serius di Kabupaten Agam. Pada Rabu (1/10), 35 anak TK dan siswa SD serta seorang guru dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG. Kasus ini menjadi yang pertama di Sumatera Barat sejak program MBG digulirkan, dan langsung memicu tanda tanya besar soal pengawasan kualitas pangan.
Sekretaris Daerah Agam, M. Lutfi, mengonfirmasi bahwa hingga pukul 20.00 WIB, jumlah korban mencapai 36 orang. Namun, ia tak menutup kemungkinan data itu bertambah karena pihaknya masih menelusuri sekolah-sekolah lain penerima MBG di hari yang sama. “Ada 35 anak dan satu guru yang dirawat di RSUD Lubuk Basung dan Puskesmas Manggopoh,” ujarnya.
Ironisnya, menu sederhana berupa nasi goreng yang dikonsumsi sekitar pukul 10.00 WIB berubah menjadi malapetaka. Anak-anak mulai merasakan sakit perut, mual, hingga muntah-muntah sekitar empat jam kemudian. Seorang guru yang juga ikut makan MBG pukul 13.00 WIB turut menjadi korban. Fakta ini menimbulkan pertanyaan: di mana titik lemahnya, pada bahan makanan, proses produksi, atau distribusi?
Lutfi mengklaim Pemkab Agam bergerak cepat dengan mengaktifkan Satgas Penanganan. Ia bahkan menyebut ambulans dari sejumlah puskesmas telah disiagakan untuk mempercepat rujukan. Tetapi langkah reaktif ini jelas tidak menutup mata publik dari pertanyaan mendasar: bagaimana sistem pengawasan keamanan pangan MBG selama ini?
Kasus ini menyoroti lemahnya manajemen dapur MBG yang dikelola oleh BUMNag Kampung Tangah. Produksi sementara dihentikan sambil menunggu hasil investigasi. Namun, penghentian sesaat hanya solusi darurat. Tanpa audit menyeluruh dan evaluasi ketat, kasus serupa berpotensi terulang di kabupaten lain.
Bupati Agam, Benni Warlis, disebut langsung menuju RSUD Lubuk Basung untuk melihat kondisi korban dan malam itu memimpin rapat darurat Satgas. Namun, langkah seremonial semacam itu kerap hanya menjadi rutinitas birokrasi yang minim jawaban konkret. Publik menunggu lebih dari sekadar kunjungan—mereka menuntut transparansi, pertanggungjawaban, dan jaminan keamanan program MBG.
Kasus keracunan ini memantik kekhawatiran luas. Program MBG yang dijalankan pemerintah daerah merupakan bagian dari program nasional dengan anggaran besar. Jika satu dapur BUMNag saja lalai dalam standar kebersihan, bagaimana dengan dapur lain yang tersebar di berbagai nagari?
Selain itu, belum jelas siapa yang bertanggung jawab penuh: apakah pengelola dapur BUMNag, pihak sekolah, atau Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan yang seharusnya mengawasi jalannya program? Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras agar pengelolaan dana publik untuk MBG tidak hanya fokus pada distribusi makanan, tetapi juga pada kualitas dan keamanan pangan.
Lutfi menegaskan bahwa semua korban difasilitasi baik dengan maupun tanpa BPJS. Pernyataan ini memang penting, tetapi tidak cukup. Publik tidak hanya menunggu kabar bahwa pasien ditangani, melainkan juga menanti kepastian investigasi penyebab utama keracunan, sanksi tegas kepada pihak lalai, serta jaminan agar program MBG tidak kembali mencederai anak-anak yang mestinya mendapatkan gizi tambahan.
Pihak Pemkab Agam mengimbau masyarakat tetap tenang dan tidak termakan isu liar. Namun, ketenangan publik hanya bisa terwujud jika pemerintah terbuka. Transparansi hasil uji laboratorium, mekanisme distribusi, hingga evaluasi menyeluruh MBG harus segera diumumkan. Tanpa itu, kasus keracunan perdana ini bisa menjadi preseden buruk dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap program pangan bergizi gratis yang sesungguhnya baik secara konsep, tapi rawan gagal dalam eksekusi.
---
0
0
0
0
0
0