24 Okt 2025 - 198 View
Atambua, 24 Oktober 2025,RedaksiDaerah.com- Kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif daerah kembali diguncang. Kali ini, DPRD Kabupaten Belu menjadi sorotan tajam setelah diduga mengabaikan upaya audiensi yang digagas oleh Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Atambua. Pertemuan yang sedianya menjadi ruang dialog konstruktif antara wakil rakyat dan masyarakat itu justru berujung kekecewaan mendalam.
PMKRI Atambua, yang selama ini dikenal vokal memperjuangkan isu-isu kerakyatan, telah mengirimkan surat resmi kepada DPRD Belu untuk menggelar audiensi membahas hasil reses dan tindak lanjut terhadap berbagai keluhan masyarakat. Namun, upaya itu kandas tanpa penjelasan. Sejak pukul 08.30 Wita, perwakilan PMKRI telah hadir di lokasi, menunggu anggota dewan yang tak kunjung datang. Tidak satu pun pejabat DPRD yang muncul atau sekadar memberikan konfirmasi resmi terkait ketidakhadiran mereka.
Nardi yang menjabat di Bidang gerakan mahasiswa ( GERMAS ), yang dikenal sebagai salah satu kader aktif PMKRI Atambua, menyuarakan kekecewaan mendalam atas perilaku para wakil rakyat tersebut.
“Kami kecewa dengan hal ini. Pejabat publik harus menggunakan waktu sebaik mungkin untuk bekerja bagi rakyat dan hadir tepat waktu. Jika tidak, implikasinya bisa panjang dan mempengaruhi kegiatan-kegiatan penting berkenaan dengan masyarakat,” tegas Nardi dengan nada geram.
Kegagalan DPRD Belu untuk hadir dalam audiensi yang telah dijadwalkan menunjukkan wajah suram lembaga legislatif daerah yang seharusnya menjadi corong aspirasi masyarakat. Bukannya mendengar dan menampung keluhan rakyat, para wakil rakyat itu justru memperlihatkan sikap abai, seolah-olah aspirasi masyarakat hanyalah formalitas politik yang bisa ditunda seenaknya.
PMKRI Atambua menilai bahwa ketidakhadiran ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari lemahnya komitmen DPRD Belu terhadap tanggung jawab moral dan politik mereka. Dalam situasi sosial ekonomi masyarakat Belu yang masih bergulat dengan berbagai persoalan — mulai dari infrastruktur desa yang terbengkalai, pelayanan publik yang lamban, hingga kesejahteraan rakyat yang jauh dari harapan — sikap abai semacam ini ibarat menambah garam di luka.
“Bagaimana rakyat bisa percaya jika para wakilnya bahkan enggan duduk bersama untuk mendengar suara mereka?” tanya salah satu anggota PMKRI dengan nada getir.
Kekecewaan ini bukan tanpa dasar. Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, PMKRI Atambua juga telah mengkritik lemahnya tindak lanjut DPRD terhadap berbagai hasil reses. Alih-alih menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah daerah, DPRD Belu justru terkesan pasif dan kehilangan arah dalam menjalankan fungsi pengawasan serta representasi publik.
PMKRI Atambua menyatakan akan mengambil langkah tegas jika DPRD Belu tidak segera menunjukkan itikad baik. Organisasi ini berencana melakukan aksi lanjutan dalam waktu dekat sebagai bentuk desakan moral agar DPRD Belu kembali ke jalur pengabdian yang semestinya — yakni bekerja untuk rakyat, bukan untuk kenyamanan pribadi atau kepentingan politik sesaat.
Kegagalan DPRD Belu hadir dalam audiensi kali ini menjadi cermin nyata betapa rapuhnya etika pelayanan publik di daerah. Rakyat menunggu perubahan nyata, bukan janji kosong yang diulang setiap masa reses. Jika para wakil rakyat terus menutup telinga terhadap suara rakyat, maka sah-sah saja bila kepercayaan publik terhadap lembaga ini kian terkikis — dan pada akhirnya, rakyat akan menagih pertanggungjawaban dengan cara mereka sendiri.
PMKRI Atambua telah mengirimkan sinyal yang jelas: kesabaran publik ada batasnya. Kini, bola panas ada di tangan DPRD Belu — apakah mereka akan membuka ruang dialog dan memperbaiki citra lembaga, atau terus membiarkan jarak dengan rakyat kian menganga.
Editor : Airon Salek
0
1
0
0
0
0