Redaksi Sumbar

Yardi (62), seorang warga miskin di Jorong Pematang Tinggi, Nagari Koto Tuo, Kecamatan Sungai Tarab, Hidup sebatang kara dan bekerja sebagai kuli serabutan, Yardi mengaku sangat terpukul setelah pemerintah nagari memutus haknya menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang selama ini menjadi penopang hidupnya.

Skandal BLT Koto Tuo: Warga Miskin Dicoret, Nama Orang Meninggal Masih Terdata

13 Sep 2025 - 1796 View

Yardi (62), seorang warga miskin di Jorong Pematang Tinggi, Nagari Koto Tuo, Kecamatan Sungai Tarab, Hidup sebatang kara dan bekerja sebagai kuli serabutan, Yardi mengaku sangat terpukul setelah pemerintah nagari memutus haknya menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang selama ini menjadi penopang hidupnya.

Tanah DatarRedaksiDaerah.com — Di balik gegap gempita program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digembar-gemborkan sebagai penyelamat rakyat miskin, terselip kisah getir seorang warga lanjut usia di Nagari Koto Tuo, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar. Yardi (62), warga Jorong Pematang Tinggi, mendadak diputus dari daftar penerima BLT tanpa alasan jelas. Sudah lima bulan lamanya ia tidak lagi menerima bantuan, padahal hidupnya hanya bertumpu pada pekerjaan serabutan.

 

Ironisnya, keputusan pemutusan itu datang langsung dari pemerintah nagari. Yardi mengaku saat pencairan terakhir, ia diberitahu secara gamblang: namanya dihapus, bantuannya dialihkan ke orang lain. Tak ada rapat, tak ada pemberitahuan resmi, apalagi kesempatan untuk membela diri. “Saya hanya bisa pasrah. Saya ini orang kecil, mana bisa melawan keputusan pemerintah nagari,” kata Yardi dengan suara bergetar.

 

Yang lebih mencengangkan, Yardi mengungkap bahwa ada warga yang sudah lama meninggal dunia masih tetap tercatat sebagai penerima BLT. Fakta ini menimbulkan dugaan adanya manipulasi data atau setidaknya kelalaian fatal dalam pengelolaan bantuan. Pertanyaan pun bergulir: siapa sebenarnya yang bermain di balik distribusi BLT Nagari Koto Tuo?

 

Investigasi RedaksiDaerah.com menemukan bahwa Yardi memang tidak pernah diundang dalam musyawarah nagari—forum yang seharusnya menjadi ruang transparansi penetapan penerima bantuan. Jika musyawarah saja tidak melibatkan pihak yang terdampak, apakah penetapan BLT di Koto Tuo benar-benar sahih atau sekadar formalitas?

 

Walinagari Koto Tuo, Ismet Kht Intan Ameh, saat dimintai konfirmasi tidak menampik adanya pergantian nama penerima. Ia berkilah bahwa evaluasi data dilakukan secara rutin dan penetapan didasarkan pada musyawarah. “Semua keputusan diambil bersama perangkat nagari. Kalau ada yang diganti, itu karena ada warga lain yang lebih membutuhkan,” ucap Ismet. Namun, ia bungkam ketika ditanya soal penerima BLT yang sudah meninggal dunia.

 

Kepala Bidang Pemerintahan Keuangan Desa (PKD) Tanah Datar, Rifka Akbar, S.STP, memberikan pernyataan berbeda. Menurutnya, kasus Yardi akan segera ditelusuri. “Kalau benar ada nama penerima fiktif atau penerima yang sudah meninggal masih menerima BLT, ini masalah serius. Kami akan minta klarifikasi langsung dari pemerintah nagari,” tegas Rifka ketika ditemui di gedung DPRD Tanah Datar.

 

Pernyataan Rifka membuka celah dugaan bahwa ada kelemahan sistemik dalam tata kelola bansos di Koto Tuo. Minimnya pengawasan, ditambah dominasi keputusan sepihak walinagari, menjadi kombinasi berbahaya yang rentan melahirkan praktik diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang. Apalagi BLT sering kali dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu.

 

Di satu sisi, Yardi yang seharusnya menjadi penerima sah justru disingkirkan. Di sisi lain, penerima fiktif atau penerima yang sudah meninggal tetap ada dalam daftar. Ketidakadilan ini menampar wajah program BLT yang digagas pemerintah pusat untuk menyelamatkan rakyat miskin. Bukankah ini bentuk nyata pengkhianatan terhadap amanat rakyat?

 

Hingga kini, belum ada klarifikasi terbuka dari Walinagari Koto Tuo terkait temuan data bermasalah tersebut. Publik tentu berhak curiga, sebab setiap rupiah dana BLT bersumber dari uang negara yang seharusnya disalurkan tepat sasaran. Tanpa evaluasi serius dari pemerintah kabupaten, praktik seperti ini akan terus berulang.

 

Kasus Yardi hanyalah satu contoh kecil dari rapuhnya sistem distribusi bantuan sosial di Tanah Datar. Jika dibiarkan, hal serupa bisa menimpa ratusan warga miskin lainnya. Dan pada titik inilah, pertanyaan besar harus diajukan: benarkah BLT masih menjadi instrumen kesejahteraan rakyat, ataukah sudah bergeser menjadi alat kekuasaan di tangan segelintir elite nagari?

 

 

---

Reporter: Fernando 

Editor: RD TE Sumbar 

Apa yang anda rasakan setelah membacanya...?

love

0

Suka
dislike

3

Kecewa
wow

0

Wow
funny

1

Lucu
angry

7

Marah
sad

0

Sedih