Redaksi Sumbar

Wali Nagari Pasie Laweh, Hidayat, S.Pd., M.Pd.T., memimpin rapat bersama tokoh masyarakat di Aula Kantor Wali Nagari—suasana tegang namun penuh desakan mencari solusi atas krisis air bersih yang membelah warga.

Sabotase Pipa dan Aroma Politik di Balik Krisis Air Pasie Laweh

13 Nov 2025 - 268 View

Wali Nagari Pasie Laweh, Hidayat, S.Pd., M.Pd.T., memimpin rapat bersama tokoh masyarakat di Aula Kantor Wali Nagari—suasana tegang namun penuh desakan mencari solusi atas krisis air bersih yang membelah warga.

Tanah Datar, RedaksiDaerah.com — Bara konflik di Nagari Pasie Laweh, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, kini bukan sekadar soal aliran air bersih. Isu teknis yang mestinya bisa diselesaikan lewat musyawarah, justru menjelma jadi pusaran politik dan kepentingan pribadi. Dari dugaan sabotase pipa hingga kepentingan politik tersembunyi, semua mulai terbuka ke permukaan.

 

Kisruh ini bermula dari penghentian aliran air dari Jorong Talang Dasun ke Jorong Lurah Ampang. Air bersih yang selama empat hingga lima tahun terakhir mengalir lancar, tiba-tiba dihentikan tanpa alasan teknis yang jelas. Namun, yang mengejutkan, permasalahan ini mencuat tepat saat suhu politik nagari mulai meningkat menjelang agenda pemerintahan baru. “Kalau selama ini lancar, kok sekarang jadi ribut? Ada apa?” sindir Wali Nagari Pasie Laweh, Hidayat, S.Pd., M.Pd.T, saat diwawancarai wartawan, Kamis (13/11/2025).

 

Wali Nagari Hidayat tak menutupi kecurigaannya bahwa ada motif politik di balik polemik air bersih tersebut. Ia menilai, isu air ini sengaja dipelintir untuk mencoreng kredibilitas pemerintah nagari. “Saya mau tahu, kalau nanti ada pergantian wali nagari, apakah air ini akan dibongkar juga? Kalau iya, berarti ini bukan soal air, tapi soal kursi,” tegasnya.

 

Lebih jauh, Hidayat membenarkan adanya aksi sabotase terhadap pipa air—infrastruktur yang notabene milik negara. Ia mengecam keras tindakan tersebut. “Saya kecewa berat. Ini bukan pipa pribadi, ini aset negara. Kalau rusak, yang rugi bukan saya, tapi masyarakat,” ujarnya. Pemerintah nagari, katanya, masih menahan diri untuk tidak membawa kasus ini ke ranah hukum, meskipun opsi itu terbuka lebar. “Kalau nanti negara menuntut, ya kita proses. Tidak boleh dibiarkan.”

 

Rapat yang digelar di Aula Kantor Wali Nagari pada Rabu (11/11/2025) dengan menghadirkan BPRN, KAN, dan pengurus PAMSIMAS, sejatinya dimaksudkan untuk mencari solusi teknis. Namun, hasil musyawarah justru membuka luka lama. Sejumlah tokoh masyarakat menilai pengelolaan air selama ini tidak adil, sementara pihak lain menuding sebagian warga bertindak semaunya dengan menutup aliran tanpa koordinasi.

 

Dalam forum itu, Wali Nagari Hidayat menegaskan bahwa persoalan ini murni teknis: masyarakat harus memahami perbedaan antara sumber air lama dari Banda Tambakau (Bandar Tambakau) dengan jaringan bantuan bencana. Ia menjelaskan, “Air dari bantuan bencana itu hanya tambahan, bukan pengganti. Kalau air lama cukup, tidak perlu pakai yang baru. Kalau kurang, baru kita alirkan dari bak bantuan.”

 

Diskusi semakin tajam ketika sejumlah tokoh masyarakat seperti Edi Mulyadi, M. Nasir, Yosrizal Ayub, Mukhtar Kiman, dan lainnya angkat suara dalam Musyawarah Banda Tambakau.

 

Edi Mulyadi mengingatkan agar areal Banda Tonga ditinjau ulang karena potensial dijadikan lahan pertanian. M. Nasir menegaskan pentingnya Banda Tongah sebagai titik pembagian air, bahkan menyebut lokasi Masjid Istiqomah sebagai “pincuran tinggi”—simbol penting pembagian air tradisional nagari.

Sementara Dt.Indo Marajo Sunin menyoroti sistem aliran air dari Guo (gua) yang disebut “Lokuak Ompang”, dan Azwar menambahkan agar jalur Banda Tambakau–Banda Tongah–Guguak Solang dikaji ulang, termasuk potensi air Piliang Soni–Lokuak Ompang.

 

Dalam sesi yang sama, Yusrizal Ayub mengusulkan pembuatan embung kecil di Banda Tambakau sebagai penampungan cadangan air. Namun Mukhtar Kiman memperingatkan, sumber air Banda Tambakau terlalu kecil untuk dibagi dua fungsi—air minum dan irigasi sawah. “Kalau tetap dipakai untuk air minum, sawah bisa gagal tanam. Solusinya, ambil air dari Sungai Kabu atau Aie Bakabuik,” tegasnya.

 

Dari hasil musyawarah itu, disepakati empat poin penting:

 

1. Sumber utama air tetap diambil dari Banda Tonga.

 

2. Akan dilakukan kajian ulang untuk penambahan debit air.

 

3. Kegiatan PAMSIMAS Jorong Lurah Ampang tetap berjalan.

 

4. Akan ada peninjauan bersama ke Banda Tambakau untuk memastikan ketersediaan sumber air.

 

Namun, di luar rapat resmi, konflik di lapangan belum benar-benar reda. Wali Nagari mengkritik keras perilaku sebagian warga yang disebutnya “kufur nikmat”—boros menggunakan air bersih untuk kebutuhan tak!' penting. “Bayar cuma Rp15.000 per bulan, tapi ada yang pakai air sampai buat kolam pribadi. Sementara di bawah, orang berebut satu ember,” ujarnya tajam.

 

Hidayat menegaskan, pemerintah nagari bekerja untuk rakyat, bukan kelompok tertentu. Ia menyerukan kedisiplinan penggunaan air, termasuk mematikan kilometer air di malam hari agar tekanan air kembali ke hulu dan bisa dimanfaatkan untuk irigasi. “Air ini bukan milik jorong, tapi milik nagari. Kalau air pun jadi alasan berkelahi, maka kita sedang gagal jadi masyarakat yang beradab,” tutupnya dengan nada getir.

 

Kini, bola panas krisis air Pasie Laweh bergulir di tengah masyarakat. Musyawarah boleh selesai, tapi bara kepentingan belum padam. Dan di balik suara gemericik air Banda Tambakau, tersimpan pertarungan senyap antara akal sehat dan ambisi.

 

---

Reporter: Fernando Stroom 

Editor: RD TE Sumbar 

Sumber: Investigasi

Apa yang anda rasakan setelah membacanya...?

love

0

Suka
dislike

0

Kecewa
wow

0

Wow
funny

0

Lucu
angry

0

Marah
sad

0

Sedih