4 Sep 2025, 611 View
Opini oleh : Fernando Stroom
Di atas kertas, Walinagari adalah pelayan rakyat. Namun di lapangan, sebagian justru tampil bak raja kecil. Duduk di kursi jabatan seakan duduk di atas singgasana, merasa paling berkuasa, dan memandang masyarakat sebagai bawahan yang harus tunduk. Demokrasi nagari pun berubah wajah menjadi feodalisme gaya baru.
Fenomena ini bukan sekadar gosip. Banyak kasus menunjukkan bagaimana Walinagari seenaknya membuat kebijakan tanpa transparansi. Bantuan untuk rakyat dipotong, program nagari dijalankan asal-asalan, sementara rakyat dibiarkan menerima sisa. Pertanyaannya: ini pemerintahan modern atau kerajaan tradisional?
Yang lebih ironis, ada Walinagari yang seolah-olah menganggap dana desa itu harta pusaka pribadi. Mereka bebas mengatur, membagi, bahkan mengalihkan untuk kepentingan kelompok dekatnya. Uang negara yang seharusnya meringankan beban rakyat miskin, malah jadi alat pamer kuasa.
Lucunya lagi, kritik dianggap dosa. Masyarakat yang berani bersuara dicap pembangkang, pengganggu, bahkan dimusuhi. Padahal, yang duduk di kursi Walinagari itu bukan nabi, bukan raja, apalagi dewa. Mereka hanyalah manusia biasa yang mendapat mandat. Tetapi entah kenapa, begitu jabatan disandang, sikapnya mendadak berubah: telinga ditutup, hati mengeras, lidah kian tajam.
Inilah wajah “raja-raja kecil” di nagari. Mereka lupa, kursi itu bukan warisan turun-temurun, melainkan jabatan sementara. Mereka lupa bahwa kekuasaan itu hanya titipan, bukan hak abadi. Lebih parah lagi, mereka lupa bahwa rakyatlah pemilik sejati nagari ini, bukan mereka.
Kebiasaan arogan ini harus diputus. Kalau tidak, nagari hanya akan melahirkan feodalisme baru yang membunuh demokrasi. Rakyat akan terus dipandang rendah, hak-haknya dipotong, dan kesejahteraannya terabaikan. Apakah kita mau hidup di bawah bayang-bayang “raja-raja kecil” yang lahir dari kotak suara?
Sudah saatnya masyarakat sadar. Jangan lagi segan bersuara. Jangan biarkan jabatan Walinagari disalahgunakan. Kalau perlu, lawan lewat hukum, kawal lewat media, dan kontrol lewat suara kolektif. Kekuasaan yang tidak diawasi hanya akan melahirkan kesewenang-wenangan.
Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum pun jangan tutup mata. Jangan sampai rakyat dibiarkan sendirian menghadapi “raja-raja kecil” ini. Tegakkan aturan, tindak tegas jika ada penyalahgunaan, dan ingatkan bahwa jabatan publik bukan tahta kerajaan.
Nagari bukan kerajaan. Rakyat bukan hamba. Dan Walinagari, sekeras apa pun ia berlagak, tetaplah pelayan rakyat. Kalau masih ada yang merasa dirinya raja, maka biarlah rakyat yang menurunkannya dari singgasana semu itu.
Sebab ingatlah, singgasana Walinagari hanya bertahan enam tahun, tetapi ingatan rakyat bisa bertahan seumur hidup.
0
0
0
0
0
0