13 Des 2025 - 27 View
BIREUEN | RedaksiDaerah.com — Dugaan praktik mafia bencana mencuat di tengah krisis banjir dan longsor yang melanda Aceh. Sejumlah relawan kemanusiaan mengaku menjadi korban pemerasan berjemaah saat menyalurkan bantuan melalui jalur penyeberangan darurat di Kuta Blang, Kabupaten Bireuen. Biaya yang dipatok disebut mencapai jutaan rupiah dan dinilai menghambat langsung distribusi bantuan bagi korban bencana.
Relawan mengungkapkan, satu-satunya akses distribusi bantuan pascarobohnya jembatan utama adalah menggunakan boat penyeberangan. Namun kondisi darurat itu justru dimanfaatkan oleh pemilik boat dan kelompok pengangkut barang yang dikenal sebagai “harlan” untuk mematok tarif tidak wajar, tanpa regulasi dan pengawasan pemerintah.
“Mahal sekali. Biayanya lebih besar dari bantuan yang kami bawa,” ujar Surya Darma (22), relawan kemanusiaan asal Banda Aceh, kepada wartawan, Rabu (10/12/2025).
Surya menjelaskan, dirinya membawa bantuan berupa beras, mie instan, dan pakaian layak pakai menggunakan satu unit mobil pick up untuk pengungsi di wilayah Geurugok, Kabupaten Bireuen hingga Aceh Utara, pada Senin (8/12/2025). Setibanya di Kuta Blang, relawan dipaksa menggunakan jasa boat dan harlan dengan biaya berlapis.
“Biaya harlan di sisi kanan jembatan Rp600 ribu, ongkos boat Rp400 ribu sekali seberang, dan harlan sisi kiri Rp300 ribu. Total Rp1,4 juta untuk jarak sekitar 150 meter,” ungkapnya.
Ia menegaskan, relawan datang tanpa kepentingan apa pun selain kemanusiaan. “Kami tidak pernah menyiapkan anggaran sebesar itu. Ini jelas mencekik,” katanya.
Keluhan senada disampaikan Nurul Fajri, relawan lainnya. Ia menyebut praktik tersebut sebagai pemalakan terang-terangan di tengah musibah. “Kami datang untuk menolong korban bencana, bukan untuk diperas,” tegasnya.
Tak hanya itu, dugaan pematokan tarif liar disebut sudah berlangsung sistematis. Sejumlah relawan bahkan mengaku dipungut hingga Rp3 juta hanya untuk satu kali penyeberangan bantuan.
“Kami pernah kena Rp3 juta sekali seberang. Bantuan tidak boleh kami angkut sendiri, semuanya harus lewat harlan,” ujar Muhammad Adam, warga Bireuen yang turut mengantar bantuan ke Aceh Timur.
Menurut Adam, tarif normal boat seharusnya berkisar Rp400–500 ribu. Namun biaya tersebut membengkak akibat pungutan tambahan yang tidak jelas dasar hukumnya. “Ini sudah di luar kewajaran,” katanya.
Warga Bireuen lainnya, Yuslinda (34), menyebut praktik ini telah berulang dan kerap dilaporkan ke pemerintah daerah, namun tak kunjung ditindak. “Sudah sering dilaporkan, tapi seperti dibiarkan,” ujarnya.
Praktik dugaan pemerasan ini dinilai sebagai ancaman serius bagi misi kemanusiaan. Biaya logistik yang membengkak memaksa relawan mengurangi bahkan membatalkan penyaluran bantuan ke wilayah terdampak.
Publik kini mempertanyakan kehadiran negara di tengah bencana. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum didesak segera menertibkan jalur logistik darurat agar tidak dikuasai oknum yang menjadikan penderitaan rakyat sebagai ladang keuntungan.
Jika dibiarkan, praktik ini bukan hanya memperkuat stigma mafia bencana, tetapi juga merusak solidaritas kemanusiaan serta memperlambat pemulihan korban banjir dan longsor di Aceh.
---
Sumber: Aceh Watch
Reporter: Angga Maulana
Editor: Fernando Stroom
0
0
0
0
0
0